Analisis kebutuhan
program pembelajaran
BKM UI (Badan Konseling Mahasiswa
Universitas Indonesia) merupakan sebuah badan pelayanan berupa bantuan
konseling milik Universitas Indonesia yang ditujukan kepada seluruh mahasiswa
UI. Setiap tahunnya, jumlah mahasiswa baru UI bertambah secara signifikan.
Fakta ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi BKM UI. Hal ini disebabkan
kemungkinan berbagai masalah yang dimiliki mahasiswa perlu dikumpulkan untuk
tindakan selanjutnya, baik preventif maupun kuratif (Sukadji, 1990). Maka dari
itu, BKM UI merancang sebuah program, yakni peer
counselor pada tahun 2012 untuk menjangkau mahasiswa yang tersebar di
berbagai fakultas. Tujuan dari program ini adalah tindakan preventif. Peer counselor berfungsi untuk mengenali
dan mendeteksi masalah yang terjadi pada mahasiswa UI.
Akan tetapi, peer counselor perlu dilatih kemampuannya agar dapat berfungsi
secara efektif dan efisien. Pelatihan yang akan diberikan adalah teknik dasar
konseling. Teknik dasar konseling di sini adalah empati dan wawancara. Kedua
kemampuan ini merupakan faktor penting dan mendasar yang perlu dipahami seorang
konselor karena mempunyai pengaruh (Gunarsa, 2009). Berempati merupakan dasar
utama yang perlu dilakukan oleh seorang peer
counselor dalam membangun sebuah hubungan. Diharapkan, ketika sebuah
hubungan sudah terbentuk, mahasiswa sebagai “klien” menjadi lebih terbuka
mengenai dirinya sehingga pengetahuan dan pemahaman terkait masalah dapat
diperoleh oleh peer counselor.
Dilanjutkan dengan kemampuan wawancara, teknik ini merupakan cara umum yang penting
sekali untuk dilatih. Melalui wawancara, peer
counselor dapat menggali informasi secara sistematis sehingga memungkinkan
menemukan masalah sesungguhnya yang terjadi pada mahasiswa.
Meskipun para peer counselor pernah mendapatkan pelatihan sejenis ini, sangat
disayangkan bahwa tidak terdapat evaluasi atau asesmen keberhasilan dari
pelatihannya, segi kuantitas atau kualitas. Dengan kata lain, pelatihan yang
sudah dilaksanakan ini tidak dapat memastikan kemampuan peer counselor dalam mengerjakan fungsi tugasnya. Padahal, evaluasi
menjadi indikator efektivitas pelatihan yang diberikan dalam mencapai sasaran
belajar (Rubiyanto, 1993). Oleh sebab itu, saya membentuk program pembelajaran
berupa pelatihan agar dapat mengoptimalkan kinerja dari peer counselor di BKM UI.
Rasionale teoritis
program pembelajaran
Dalam program pembelajaran ini, saya
menggunakan teori sociocultural oleh
Vygotsky, discovery learning oleh
Brunner, dan multiple intelligence
oleh Gardner. Dikarenakan program pembelajaran ini berupa pelatihan, saya juga
menggunakan pendekatan pelatihan, experiential
learning (belajar berdasarkan pengalaman) oleh Kolb sebagai konsep
menyeluruh dari pelatihan ini. Ditunjang pun dengan menggunakan penjelasan
mengenai pelaksanaan pelatihan dan prinsip belajar oleh Mitchell.
Teori sociocultural merupakan sebuah teori dimana peserta belajar
membangun pengetahuannya berdasarkan interaksi dengan adult (orang lain yang lebih mampu) melalui transfer alat
pembelajaran. Adult mentransferkan
informasi atau materi belajar dengan menggunakan tools (alat) yang bersifat psychological
(psikologis) dan technical (teknis).
Sebagai contoh, seorang ahli public
speaking melatih sejumlah mahasiswa jurusan ilmu komunikasi dengan
menyampaikan materi yang relevan mengenai public
speaking melalui acara seminar interaktif. Melalui contoh ini, materi public speaking sebagai technical tool, sedangkan penyampaian
melalui seminar interaktif ini adalah psychological
tool.
Teori discovery learning adalah sebuah teori yang menjelaskan bahwa
peserta belajar secara aktif mengalami pengembangan pengetahuan berdasarkan
pengalamannya yang subjektif dan mandiri. Dalam teori ini, peserta belajar
merupakan pembelajar utama, adult dan
peserta lain dianggap kurang atau tidak signifikan terhadap pengembangan
pengetahuan. Dengan kata lain, fungsi orang lain dari peserta belajar berperan
hanya sedikit. Sebagai contoh, seorang dosen dengan mata kuliah konseling
memberikan perkuliahan terhadap mahasiswanya dengan memberikan tugas mandiri.
Dosen hanya menyampaikan materi perkuliahan dan memberikan informasi yang
sifatnya clueless terkait tugasnya.
Konsekuensi terhadap tindakan dosen tersebut adalah bahwa mahasiswa akan
berusaha secara aktif agar dapat menyelesaikan tugas dengan tepat hingga
mencapai predikat yang memuaskan sebagai reinforcement.
Berdasarkan contoh ini, mahasiswa sebagai peserta belajar bertindak aktif dalam
pengalaman proses pengerjaan tugasnya, sedangkan dosen berperan hanya
memberikan informasi yang minimal.
Teori multiple intelligence yaitu sebuah teori yang meyakini bahwa setiap
peserta belajar memiliki kecerdasan spesifik yang berbeda-beda, dimana
kecerdasan ini perlu dikembangkan agar menghasilkan tingkah laku untuk
mengatasi masalah tertentu. Terdapat berbagai kecerdasan yang pada umumnya dimiliki
oleh peserta belajar. Jika kecerdasan ini dilatih terus-menerus, kemampuan
tertentu pada peserta belajar akan semakin berkembang sehingga sangat
memungkinkan membantunya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, seorang
mahasiswi psikologi memiliki kecerdasan interpersonal yang baik. Pernyataan ini
telah dibuktikan melalui berbagai tes yang pernah diikutinya. Mahasiswi ini
sangat mudah dan pandai membangun dan mempertahankan sebuah hubungan dengan
orang di sekitanya. Selain itu, bilamana terjadi konflik dengan temannya, ia
cenderung menyelesaikannya dengan asertif. Dari contoh ini, mahasiswi tersebut
memiliki kecerdasan interpersonal yang dikembangkan secara berkelanjutan dalam
hubungan dengan orang di sekitarnya. Pengembangan ini menyebabkan mahasiswi
dapat menyelesaikan konflik interpersonal dengan baik dan benar.
Pendekatan pelatihan oleh Kolb, experiential learning yakni sebuah
pendekatan sistematis yang mendasarkan pengalaman pada peserta belajar sebagai
tahapan yang mendukung pencapaian sasaran pembelajaran yang dibentuk melalui
pelatihan. Kolb pun menyediakan sebuah model atau yang dikenal sebagai daur
Kolb dalam pendekatan ini:
Gambar: Daur Kolb (Slide
Perkuliahan Sesi V, Pelatihan 1, 2012)
Ditampilkan dalam gambar daur Kolb,
siklus terbentuk secara bertahap melalui empat proses, yakni concrete experience, reflective experience, abstract conceptualization, dan active experimentation. Tahapan pertama,
concrete experience adalah tahap
dimana seorang peserta belajar mengalami kejadian nyata. Tahapan kedua, reflective observation ialah tahap
dimana seorang peserta belajar mengamati dan merefleksikan kembali kejadian
yang dialami di tahap satu. Tahapan ketiga, abstract
conceptualization adalah tahap dimana seorang peserta belajar
memformulasikan atau menyimpulkan suatu hal terkait dirinya atau ide tertentu
berdasarkan tahap dua. Tahapan keempat, active
experimentation ialah tahap dimana seorang peserta belajar
menggeneralisasikan produk tahap tiga melalui tingkah laku baru yang menjadi
tujuan pembelajaran. Siklus ini kemudian dirancang agar terjadi secara
terus-menerus agar menguatkan atau meningkatkan kemunculan dari tingkah laku
yang diharapkan dari pelatihan.
Teori terkait pelaksanaan pelatihan
dijelaskan Mitchell (1987), dimana diuraikan berdasarkan langkah-langkah yang
terperinci (Rubiyanto, 1993). Kegiatan pertama kali yang harus dipersiapkan
adalah asesmen kebutuhan. Dengan kata lain, tujuan dari pelatihan ini hendak
dilakukan didasarkan oleh penyebab tertentu karena ada masalah atau tantangan
yang dihadapi. Misalnya, mengantisipasi perkembangan teknologi maka seorang
karyawan diberikan pelatihan yang relevan. Terdapat berbagai macam kebutuhan
lainnya yang biasanya menjadi dasar pelaksanaan suatu pelatihan. Setelah
kebutuhan sudah jelas, langkah berikutnya adalah sasaran pelatihan atau target
tingkah laku pembelajaran apa yang akan dicapai atas dasar kebutuhan pelatihan.
Sasaran ini merupakan bagian yang penting dalam penyelenggaraan pelatihan. Oleh
sebab itu, tingkah laku yang dilatih harus didefinisikan secara operasional,
konkret, serta dapat diukur agar efektif.
Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan
pelatihan yang terdiri dari beberapa langkah, antara lain langkah persiapan,
penyajian, praktik, dan evaluasi. Dalam pelatihan, persiapan bertujuan untuk
memotivasi dan mengarahkan peserta pelatihan terhadap pelaksanaannya dengan
menggunakan strategi-strategi tertentu, misalnya bermain games, diskusi partisipatif, dan lain-lain. Dilanjutkan dengan
penyajian, pelatih menyampaikan materi kepada peserta pelatihan, dimana memberlakukan
teknik yang relevan dan mendukung sasaran tingkah laku pembelajaran. Teknik
yang biasanya dilakukan adalah teknik satu atau dua arah. Setelah langkah
penyajian, para peserta memasuki langkah praktik, dimana pembelajaran yang
sudah diterima diaplikasikan agar pelatihan menjadi efektif. Beberapa metode
praktis dapat dimanfaatkan dalam langkah ini, seperti tes tertulis, tes oral, role-play, studi kasus, dan seterusnya. Diakhiri
dengan evaluasi, langkah ini bersifat penting karena dapat dilihat bagaimana
efektivitas pelatihan ini, yakni seberapa jauh sasaran tingkah laku
pembelajaran telah tercapai. Cara yang biasa digunakan pun beragam, antara lain
penggunaan alat tes, pengerjaan proyek pemecahan masalah, praktik dalam keadaan
sebenarnya, studi kasus, role-play,
dan konseling pribadi.
Pelatihan merupakan salah satu
bentuk aktivitas yang didasarkan atas proses belajar (Rubiyanto, 1993). Oleh
sebab itu, pelatihan sudah seharusnya disusun dengan mengikuti prinsip-prinsip
belajar yang dikemukakan oleh Mitchell (1987) sebagai berikut:
1.
Partisipasi, diperlukan keterlibatan aktif dari peserta pelatihan agar proses
belajar menjadi lebih cepat dan tahan lama, learning
by doing.
2.
Pengulangan, tingkah laku yang dipelajari akan relatif menetap jika diberikan
kesempatan untuk melakukan repetisi.
3.
Relevansi, materi pelatihan yang diberikan bermakna bagi para peserta agar
dapat menemukan keterkaitan dari tugas dan hubungan dari prosedur dalam
penyajian materi.
4.
Transferens, kesesuaian antara materi yang dipelajari dan sasaran tingkah laku
pembelajaran dalam kegiatan atau pekerjaan yang nyata akan memudahkan
pembelajaran yang dialami peserta pelatihan.
5.
Keunikan, didasari pada individual
differences. Pelatihan perlu disesuaikan diri peserta.
Gambaran umum program
pembelajaran
Program pelatihan ini bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan teknik dasar konseling pada peer counselor di BKM UI. Teknik dasar konseling di sini
dioperasionalkan menjadi kemampuan berempati dan melakukan wawancara. Manfaat
dari pelatihan ini adalah mengoptimalkan fungsi dari peer counselor dalam mengerjakan tugasnya, yakni mengenali dan
mendeteksi masalah yang sebenarnya terjadi pada mahasiswa UI. Maka dari itu,
diharapkan BKM UI akan terbantu dalam hal menjalankan fungsi dan perannya
sebagai lembaga konseling mahasiswa di Kampus UI.
Dasar dari pelatihan mengimplementasikan
ketiga teori dari Vygotsky, Brunner, dan Gardner. Alasannya adalah bahwa ketiga
teori ini akan mendukung pencapaian sasaran tingkah laku pembelajaran.
Pelatihan sebagai metode belajar dikemas dalam pendekatan pelatihan Kolb.
Penggunaan pendekatan ini dianggap sesuai untuk mencapai keberhasilan dari
pelatihan karena tidak hanya memfasilitasi pemahaman pada konsep, melainkan
menjadi sarana dalam mengembangkan suatu kemampuan tertentu (Silberman, 2006).
Dari segi pelaksanaannya, diterapkan pembahasan dari Mitchell mengenai
pelaksanaan pelatihan secara langsung serta menyeluruh. Diharapkan keseluruhan
pemanfaatan teori dan pendekatan mampu merealisasikan jawaban atas kebutuhan peer counselor di BKM UI.
Dalam pelatihan ini, peserta ialah
mahasiswa UI yang terdaftar sebagai peer
counselor di BKM UI pada tahun 2013. Mereka diwajibkan untuk mengikuti
pelatihan ini sebelum melakukan tugasnya. Pelatihan yang diberikan adalah
berempati dan melakukan wawancara. Segala aktivitas yang terjadi dalam
pelaksanaannya kelak mendukung keberhasilan dari pelatihan ini. Program berlangsung
selama tiga hari, dimana alokasi waktu diberikan pada dua minggu berurutan.
Pada minggu pertama, pelatihan dilakukan pada hari Jumat dan Sabtu. Waktu yang
dioptimalkan selama delapan jam, 08.00 s/d 16.00 WIB, dengan jam istirahat pada
12.00 s/d 13.00 WIB. Dilanjutkan pada minggu kedua, pelatihan diberikan pada
hari Sabtu dengan rentang waktu yang sama dengan pelatihan di minggu pertama.
Pelatihan pada minggu pertama dikhususkan pada pelatihan berempati, kemudian
minggu kedua ialah pelatihan melakukan wawancara. Penentuan waktu ini didasari
konsep ideal dalam suatu pelatihan, dimana pelatihan soft-skill membutuhkan waktu minimal dua hari, serta pelatihan hard-skill cukup dengan seharian penuh.
Peer
counselor sebagai peserta akan
difasilitasi oleh trainer dan mentor dari ranah psikologi. Mereka adalah psikolog
dan imuwan psikologi dari UI yang terbukti memiliki kecakapan dan kemampuan
dalam melatih tingkah laku pembelajaran. Namun, peserta juga diberikan
kesempatan untuk belajar secara aktif dan mandiri. Misalnya, kesempatan
bertanya dan mengajukan pendapat dalam sesi tertentu atau pemberian tugas
pribadi selama pelatihan. Mendukung pencapaian sasaran tingkah laku pembelajaran,
aktivitas akan menstimulasi kecerdasan interpersonal para peserta. Evaluasi
juga akan dilaksanakan secara berkala di sesi akhir dari praktik pelatihan.
Dalam sesi evaluasi, ditekankan seberapa jauh pemahaman dan seberapa tepat
indikator tingkah laku pembelajaran mampu diaplikasikan oleh para peserta.
Segala sesuatu yang disiapkan ini diharapkan dapat menyukseskan program
pelatihan.
Uraian program
pembelajaran
1.
Peserta
Peserta
dalam pelatihan ini adalah peer counselor
angkatan 2013. Kriteria peserta ini didasarkan mereka belum memiliki
pengalaman mengikuti pelatihan seperti peer
counselor angkatan 2012. Selain itu, efektivitas dan efisiensi pelatihan
juga menjadi pertimbangan sehingga tidak melibatkan peer counselor angkatan 2012.
2.
Sasaran tingkah laku
Terdapat
dua sasaran tingkah laku dari pelatihan ini, yaitu peer counselor angkatan 2013 mampu melakukan empati dan wawancara.
3.
Definisi dan indikator tingkah laku
Berdasarkan
kamus kompetensi oleh Spencer & Spencer, empati didefinisikan sebagai kemampuan
untuk memahami hal-hal yang tidak diungkapkan dengan perkataan yang dapat
berupa atas pemahaman perasaan, keinginan, atau pemikiran dengan orang lain.
Menurut Ivey (dalam Gunarsa, 2009), wawancara diformulasikan sebagai kemampuan
menggunakan metode pengumpulan data berdasarkan dua dari lima tahapan dalam
struktur wawancara dalam konseling, ditambahkan penyimpulan masalah sebagai
fungsi dari peer counselor. Definisi
tersebut kemudian dijadikan beberapa indikator sebagai berikut:
a.
Indikator tingkah laku empati:
- Memahami isi pesan verbal dan emosi orang
lain
- Memahami dengan penuh pengertian
- Memahami isu yang ada di balik percakapan
b.
Indikator tingkah laku wawancara:
- Membangun rapport
- Mengumpulkan data secara sistematis
- Menyimpulkan masalah dengan komprehensif
4.
Prosedur pelaksanaan program
Pelatihan
empati dan wawancara ini akan disusun berdasarkan hari pelaksanaannya.
I.
Pelatihan Empati Sesi 1 (Minggu ke-1, 08.00-16.00 WIB)
Dalam tahap persiapan, penyelenggara
pelatihan akan disampaikan terlebih dahulu oleh ketua dari BKM UI. Ketua BKM UI
memberikan kata sambutan dan motivasi kepada peserta pelatihan (trainee), sekaligus menjelaskan secara
singkat mengenai jadwal dan rundown pelatihan
lalu sasaran tingkah laku pembelajaran yang hendak dicapai. Peer counselor akan dilatih kemampuan
dalam berempati dan melakukan wawancara untuk membantu kinerja dan tugas
mereka. Penjelasan yang diberikan di awal ini bertujuan mentransferkan informasi
kepada peer counselor agar mereka
mengetahui inti dari pelatihan ini. Diharapkan hal ini akan membantu trainee dalam mengembangkan pengetahuan
dan pembelajaran apa saja yang akan dialami oleh mereka. Diakhiri dengan
pengenalan para trainer dan mentor yang akan memfasilitasi peserta selama
pelatihan berlangsung.
Trainer
mengawali kegiatan dengan memberikan beberapa pertanyaan yang merangsang trainee untuk berpikir dan membangun
pengetahuan dasar terkait tingkah laku yang akan dilatih. Contoh pertanyaan
sederhana yang diberikan, misalnya “apakah yang kalian ketahui tentang empati?”,
“apakah perbedaan empati dan simpati?”, “apakah tujuan dari empati?”, dan
seterusnya Trainee diajak untuk
mengemukakan pendapat pribadinya tanpa ditunjuk, namun, jika tidak ada yang
berinisiatif menjawab pertanyaan, trainer
akan menunjuk trainee yang
berulang tahun pada bulan tertentu dengan pembawaannya yang menyenangkan. Cara
tersebut pun kiranya dapat mencairkan suasana. Trainer kemudian memperkenalkan diri kepada seluruh trainee yang hadir. Perkenalan ini
disiapkan sebelumnya agar menimbulkan ketertarikan dalam diri peserta terhadap
bidang konseling. Strategi yang digunakan tidak secara konvensional, sekadar
menampilkan daftar riwayat hidup, namun berbagi pengalaman berkesan yang
diberikan oleh trainer. Ketertarikan
ini diyakini akan memotivasi trainee
yang memang sebelumnya memiliki minat terhadap program peer counselor agar semakin siap dan bersemangat dalam mengikuti
pelatihan.
Aktivitas berikutnya, tahap
penyajian, dimana trainer memberikan
penjelasan secara lengkap mengenai empati dengan metode
presentasi-partisipatif. Para trainee
diperbolehkan untuk bertanya dan/ atau mengemukakan pendapat selama sesi
presentasi. Metode interaktif ini bertujuan supaya trainee dapat mengembangkan pengetahuan hingga membentuk pemahaman
awal. Setelah presentasi dan diskusi, trainee
pun ditawarkan untuk menyatakan kesimpulan dari apa yang mereka dapat selama
sesi penyajian dan hasil diskusi. Kemudian, sesi ini dilanjutkan dengan
istirahat selama satu jam hingga dilanjutkan ke tahap praktik.
Memasuki tahap praktik, para trainee dikondisikan terlebih dahulu
oleh trainer, dimana trainer bertanya tentang apa saja yang
mereka lakukan selama istirahat atau kesan terhadap makan siang yang telah
disediakan oleh BKM UI. Kemudian, trainer
melakukan permainan yang menyenangkan untuk mengembalikan dan mengarahkan minat
dan motivasi trainee untuk
melanjutkan pelatihan. Pada dasarnya, praktik melatih kemampuan berdasarkan
pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh dari tahap penyajian. Tahap praktik di
sini akan melatih dua indikator dari empati, yaitu (1) memahami isi pesan
verbal dan emosi orang lain dan (2) memahami dengan pengertian.
Trainee
akan menonton sebuah film dengan konten emosional. Film yang berdurasi
sekitar hampir dua jam ini dilanjutkan dengan sesi diskusi bersama mentor.
Mentor di sini adalah konselor dari pusat klinik terpadu di Fakultas Psikologi
UI. Keterlibatan mentor sebagai fasilitator yang memimpin diskusi dan menyelia
proses diskusi. Pada sesi ini, trainee dibentuk
ke dalam beberapa kelompok yang beranggotakan empat hingga lima di dalamnya.
Mentor mengawali diskusi dengan bertanya mengenai film, seperti “apa saja yang
kamu saksikan dari film barusan?”, “apa yang dirasakan oleh tokoh tersebut
akibat kejadian naas yang dialaminya?”, “apa pesan yang bisa kamu ambil dari
tokoh di film ini?”, dan lain-lain. Melalui diskusi ini, anggota kelompok dapat
saling belajar, misalnya mengelaborasi setiap jawaban yang satu dengan lainnya.
Mentor mengobservasi setiap jawaban yang muncul oleh setiap anggota sebagai
langkah evaluasi. Jawaban yang diharapkan muncul adalah mencapai indikator
tingkah laku pertama dari empati, yakni memahami isi pesan verbal dan emosi
orang lain. Diskusi kelompok kecil ini ditutup oleh mentor dengan membagikan
saran praktis dan cerita pengalaman terkait indikator pertama. Setelah sesi
ini, trainee diberikan tugas kembali,
yaitu latihan pemecahan masalah. Pengerjaan tugas ini adalah secara individual.
Ditujukan supaya trainee dapat
mengembangkan informasi yang didapat selama pelatihan ini secara mandiri hingga
mendapatkan sebuah insight yang
bermakna baginya. Trainee mengerjakan
soal kasus terkait hubungan interpersonal. Penggunaan kasus ini bertujuan untuk
menstimulasi kecerdasan interpersonal yang dimiliki oleh trainee karena berempati akan semakin baik jika kecerdasan
interpersonal juga dikembangkan. Respons yang dituliskan dalam lembar jawaban studi
kasus dijadikan evaluasi untuk melihat kemunculan indikator tingkah laku kedua,
yaitu memahami dengan penuh pengertian.
Sesi praktik dan evaluasi pelatihan
empati sesi 1 telah berakhir. Namun, trainer
berpesan kepada seluruh trainee
untuk menuliskan laporan dalam bentuk jurnal harian, serta melatih kemampuan
ini di luar sesi yang juga ditulis dalam laporannya. Trainee diminta untuk menuliskan pengalaman yang didapat selama
pelatihan hari tersebut dan hasil latihan individu, demikian insight dan strategi pengaplikasian
tingkah laku di masa depan sebagai peer
counselor. Laporan ini akan dikumpulkan pada minggu kedua, pelatihan empati
sesi 2.
II.
Pelatihan Empati Sesi 2 (Minggu ke-2, 08.00-16.00 WIB)
Pertemuan pada pelatihan empati sesi
2 ini diawali pengumpulan laporan setiap trainee
kepada mentor kelompok masing-masing. Laporan ini akan diberikan feedback, diberikan tiga hari setelah
hari pengumpulan. Pemberian feedback
ini bertujuan memberikan kesempatan pada trainee
untuk mengetahui ketepatan penguasaan materi yang telah diberikan.
Diharapkan trainee mendapatkan insight penting yang mendorongnya dalam
menguasai tingkah laku.
Aktivitas dilanjutkan dengan icebreaking dan obrolan singkat oleh trainer. Seusai pengondisian, tahap persiapan memakai role-play, dimana trainee berpasangan melakukan sebuah dialog yang dilakukan secara
bergantian, yang satu menjadi peer
counselor, lainnya menjadi seorang mahasiswa. Peer counselor belajar untuk memahami masalah yang diceritakan oleh
mahasiswa. Trainee diarahkan untuk
mengalami sendiri ketika ia sedang berhadapan dengan mahasiswa nanti. Dari
kegiatan ini, trainee mampu
mengembangkan pemahaman dan aplikasi sederhana secara mandiri. Tahap persiapan
ini sudah menyinggung indikator tingkah laku ketiga, memahami isu yang ada di
balik percakapan.
Role-play
diakhiri dengan debriefing terpusat
oleh trainer. Para trainee akan diberikan beberapa
pertanyaan dalam diskusi forum terbuka. Contoh pertanyaan yang disampaikan,
antara lain “bagaimana proses dalam percakapan?”, “apa sajakah informasi yang
didapat?”, “adakah strategi yang dilakukan untuk mengambil inti permasalahan?”,
“adakah perasaan sulit selama melakukan role-play?”,
dan seterusnya. Trainer menggali
informasi dengan mem-probing kepada trainee. Melalui diskusi terbuka ini, dilakukan
supaya trainee dapat belajar satu
sama lain. Setelah itu, trainer
menyimpulkan secara singkat mengenai hasil diskusi. Dilanjutkan dengan
penyajian materi dengan metode ceramah oleh trainer.
Metode tradisional ini sengaja dilakukan untuk mencegah kebosanan bagi trainee dengan menstimulisasi mereka
untuk belajar serta mengusahakan pembelajaran pada kognitif masing-masing
secara aktif mandiri. Penyajian dilanjutkan kembali setelah satu jam istirahat
siang.
Berakhirnya istirahat siang,
pelatihan dilanjutkan dengan obrolan interaktif, dimana trainer sengaja menanyakan kesan selama mengikuti pelatihan minggu
lalu dan memberikan kesempatan kepada trainee
untuk menceritakan hasil laporan yang telah dikerjakan minggu lalu. Trainer menanggapi setiap trainee dan sedikit memberikan feedback. Obrolan ini dijadikan
kesempatan bagi trainer untuk
mengevaluasi trainee sekaligus
menjadi bahan pembelajaran bagi trainee secara
individu. Lalu, pelatihan memasuki tahap praktik, trainee dimasukkan ke dalam kelompok kecil yang beranggotakan empat
orang di dalamnya serta didampingi oleh mentor. Dalam kelompok kecil, trainee melakukan simulasi, dimana
melibatkan mahasiswa UI yang berperan seseorang memiliki masalah dalam
manajemen waktu yang menyebabkan prestasi akademis yang rendah. Masalah ini
sengaja disiapakan agar memberikan gambaran peer
counselor tentang masalah umum yang terjadi pada mahasiswa. Simulasi
dilakukan oleh dua trainee, sedangkan
dua trainee lainnya mengobservasi. Di
samping itu, simulasi ini juga diharapkan memunculkan indikator tingkah laku
yang telah dilatih miinggu lalu. Pada akhir simulasi, trainee sebagai pengamat akan memberikan feedback yang dipimpin oleh seorang mentor. Selama simulasi
berlangsung, trainee lainnya dapat
belajar melalui observasi pribadi. Di akhir simulasi, diskusi kembali dipimpin
oleh mentor. Tugas mentor di sini menggali setiap peristiwa dan pengamatan yang
terjadi pada trainee. Kemudian,
mentor memberikan pertanyaan yang memunculkan indikator tingkah laku yang
ketiga dan keterkaitan dengan dua indikator sebelumnya. Seusai kegiatan
kelompok kecil, pelatihan empati sesi 2 diakhiri dengan pemberian tugas
mengerjakan laporan seperti minggu lalu. Feedback
pun akan dikembalikan setelah tiga hari pengumpulan laporan di minggu
berikutnya.
III.
Pelatihan Wawancara (Minggu ke-3, 08.00-16.00)
Trainee
terlebih dahulu mengumpulkan tugas laporan kepada trainer. Kemudian, pelatihan dibuka dengan kata sambutan dari
kepala direktorat kemahasiswaan selaku yang membawahi BKM UI dalam struktur
organisasi. Trainer memulai pelatihan
dengan melakukan icebreaking seperti
biasa, kemudian menayangkan sebuah video.
Isi video ini menggambarkan situasi wawancara yang dilakukan oleh seorang
konselor kepada klien. Video ini
menyinggung indikator tingkah laku wawancara, yakni membangun rapport, mengumpulkan data secara sistematis,
dan menyimpulkan masalah dengan komprehensif. Seusai penayangan video, trainee diminta untuk berdiskusi dalam kelompok yang terdiri empat
atau lima anggota. Diskusi kali ini tidak disertai oleh mentor supaya trainee pun dapat belajar secara mandiri
melalui interaksi kelompok. Setiap kelompok kecil diberikan pertanyaan yang
perlu didiskusikan, yaitu “apakah proses yang dilakukan oleh peran dalam video?”, “bagaimana proses yang
dilakukan oleh peran?”, “apakah tujuan pelaksanaan proses yang dilakukan oleh
peran?”, dan seterusnya. Hasil diskusi akan dipresentasikan oleh kelompok secara
bergantian. Setiap presentasi akan diberikan komentar oleh trainer serta apresiasi yang berguna menguatkan tingkah laku dan
memotivasi trainee dalam mengikuti
tahap pelatihan selanjutnya.
Tahap persiapan tersebut diakhiri
dengan melanjutkan istirahat siang. Sejam berlalu, trainer mengondisikan trainee
agar siap dan fokus belajar dalam pelatihan. Trainer memberikan materi melalui presentasi. Materi merupakan
penjelasan mengenai wawancara itu sendiri. Seusai penyampaian materi, trainee dilibatkan untuk bertanya atau
mengemukakan pendapat mengenai topik materi. Manfaat dari sesi ini adalah
membantu pemahaman trainee mengenai
wawancara itu sendiri. Jawaban trainer juga
memfasilitasi pembentukan pemahaman kepada seluruh trainee. Sesi ini kemudian dilanjutkan ke tahap praktik, metode
yang digunakan adalah role-play.
Aplikasi ini dilakukan berpasangan, dimana satu berperan sebagai interviewer dan lainnya sebagai interviewee. Aktivitas yang dilakukan
bergantian ini disupervisi oleh trainer
dan mentor secara observasi keliling. Melalui role-play, diharapkan ada pembelajaran yang didapat oleh
masing-masing trainee. Di samping
itu, mengembangkan minat mereka dalam melakukan wawancara atas dasar interaksi
interpersonal. Seusai praktik¸ trainee
kembali fokus terhadap trainee. Dalam
sesi evaluasi sederhana ini, trainee
memberikan feedback dan apresiasi atas dasar hasil observasi keliling
selama praktik role-play berlangsung.
Selanjutnya, trainee meminta
perwakilan dari seluruh trainee untuk
menceritakan kembali pengalaman, baik teknis maupun perasaan selama melakukan role-play. Kemudian, memberikan
kesempatan pada trainee untuk
bertanya serta mengemukakan pendapat pribadinya. Seluruh aktivitas yang terjadi
disengaja untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman sehingga membantu
penguasaan terhadap aplikasi. Selain itu, terkait masing-masing trainee, mereka diharapkan dapat
memeroleh insight pribadi.
Evaluasi besar dilakukan berdasarkan
alat ukur yang disediakan sebelumnya. Evaluasi ini menilai kecenderungan
aplikasi yang dilakukan oleh trainee
dalam wawancara. Wawancara dilakukan antara trainer
dan/ atau mentor kepada trainee.
Wawancara dilakukan dalam ruangan, dimana beberapa asesor mewawancarai
masing-masing satu trainee. Hal ini
diterapkan untuk mencegah efek belajar jika wawancara dilakukan dalam kelompok trainee. Selesai evaluasi ini, pemberian
tugas laporan kembali meminta trainee untuk
mengerjakannya seperti biasa. Di akhir pelatihan, seluruh trainee dikumpulkan lalu diminta beberapa trainee mengemukakan pesan dan kesan terhadap pelatihan ini.
Kemudian, trainee dimohon kesediaan
untuk mengisi lembar evaluasi terhadap keseluruhan pelatihan. Apresiasi
diberikan kepada seluruh trainer dan
mentor dengan memberikan piagam dan kenang-kenangan. Selain itu, trainee pun diberikan kenang-kenangan
dan sertifikat.
5.
Kebutuhan-kebutuhan program
Pelatihan
ini tidak dapat berjalan jika tidak melibatkan sumber daya. Beberapa kebutuhan
yang digunakan dalam pelatihan sebagai berikut:
-
Sejumlah trainer dan mentor yang
sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan
-
Sejumlah mahasiswa sebagai pendukung simulasi
-
Ruangan yang cukup luas dengan suhu ruangan yang sejuk
-
Meja dan kursi yang ergonomis
-
Catering untuk istirahat makan siang
-
Alat dan perlengkapan selama sesi penyajian pelatihan
-
Film dan video sebagai stimulus pembelajaran
-
Naskah studi kasus
-
Lembar evaluasi dan alat ukur
-
Piagam penghargaan dan kenang-kenangan untuk trainer dan mentor
-
Kenang-kenangan dan sertifikat pelatihan untuk trainee
DAFTAR PUSTAKA
Gunarsa, S. D. (2009). Konseling dan psikoterapi. Jakarta: PT
BPK Gunung Mulia.
Marantika, D., Sarinastiti, M., &
Febrianti, R. (2012). Kunungan BK dan psikolog sekolah di perguruan tinggi:
Badan Konseling Mahasiswa Universitas Indonesia (BKM UI). PowerPoint File MK Psikologi Sekolah Kelas A. Depok: Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
Pratiwi, A. P., Aryaningtyas, A. D.,
Ikram, R. B., Damayanti, R. R., & Natasya, Y. (2012). Pelatihan asertivitas
untuk menolak perilaku negatif akibat tekanan teman sebaya pada remaja. Tugas Akhir Mata Kuliah Pelatihan II
Rancangan Program Structured Experience (SE). Depok: Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.
Rubiyanto, R. R. (1993). Uji coba
pelatihan empati pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Skripsi Psikologi. Depok: Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
Silberman, M. (2006). Active training (3th ed.). San
Fransisco: Pfeiffer.
Spencer & Spencer. Kamus kompetensi (PDF File).
Sukadji, S. (1990). Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah.
Depok: Urdat Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Tim Dosen Pelatihan 1. (2012).
Belajar melalui pengalaman terstruktur (structured experience). PowerPoint File MK Pelatihan 1 Kuliah 5.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
NARASUMBER:
-
DM,
peer counselor BKM UI angkatan 2012
-
MAPK,
peer counselor BKM UI angkatan 2012
-
SRR,
mahasiswa MK Pelatihan 2 Fakultas Psikologi UI
-
RRD,
mahasiswa MK Pelatihan 2 Fakultas Psikologi UI
-
DN,
konselor Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar