Di sela pengerjaan tugas negara,
saya teringat sebuah pengalaman unik yang perlu saya bagikan agar menjadi
pembelajaran bersama. Saya teringat untuk menuliskan atau menceritakan sebuah
pengalaman unik yang pernah saya dapatkan. Pembelajaran yang bisa kita ambil di
sini adalah banyak, dimulai dari integritas, berkomunikasi secara asertif dan
efektif, dan menyadari bahwa kehidupan ini memang terdapat ketidakidealan.
Waktu itu, sekitar sebulan lalu
mungkin, ada seseorang kenalan saya yang bertanya apakah saya bersedia untuk
menjadi narasumber bagi seorang orangtua yang memiliki anak SMA kelas 3 yang
ingin berkuliah di Fakultas Psikologi UI. Lantas, saya menanggapinya dan
bersedia untuk dikenalkan dan bertemu dengan orangtua tersebut. Saya merasa
salut di awal karena ada orangtua yang mau melibatkan diri untuk keberhasilan
anaknya sampai-sampai mau menemui saya untuk berdiskusi. Kesempatan bagi saya
untuk bisa sharing dan memberikan impact positif bagi orangtua tersebut agar
dapat mendukung anaknya untuk terus berhasil. Saya antusias sekali di awal.
Ketika bertemu dengan orangtua
tersebut, kami berjabat tangan dan orangtua tersebut memulai percakapan. Saya
mendengarkan dengan penuh atensi terhadap beliau, saya memperhatikan setiap apa
yang dibicarakan agar saya dapat memahami dan memberikan respons yang relevan,
berkesinambungan, dan konstruktif. Di awal, ia menceritakan mengenai anaknya
yang ingin sekali berkuliah di fakultas dengan warna makara biru muda tersebut.
Ia menyampaikan bahwa ia sebagai orangtua, ingin melihat anaknya berhasil dan
ia ingin dirinya terlibat untuk membuat anaknya berhasil masuk di fakultas
tempat saya belajar dan berkembang, serta mendapat gelar sarjana psikologi
tersebut.
Saya perhatikan tiap ucapan yang
ia keluarkan. Hingga dalam beberapa menit kemudian, saya menangkap, saya
memahami bahwa orangtua tersebut memiliki keinginan yang terselubung dari
pertemuan kami. Saya bertahan untuk tidak segera memberikan penilaian hingga
saya gali lagi dan melakukan paraphrasing. Hingga akhirnya, jelas sudah.
Orangtua tersebut menanyakan saya, apakah ada kenalan dosen atau orang di
kampus yang dapat membantu anaknya untuk meloloskan anaknya supaya dapat
berkuliah di UI. Ia mengajak saya berbisnis, ia akan memberikan uang kepada
saya dan kenalan di dalam jika anaknya bisa diberikan satu kursi sehingga dapat
berkuliah tanpa harus bersaing dalam ujian seleksi.
Pada awalnya, saya menyampaikan
bahwa saya tidak tahu-menahu bahwa apakah dosen saya ada yang menjadi panitia
dalam penerimaan mahasiswa atau tidak. Yang sebenarnya, dalam hati saya, ini
tidak sesuai dengan diri saya. Saya tidak mau melakukannya. Namun, saya
kemudian gali terlebih dahulu mengenai profil anaknya. Anaknya merupakan anak
yang pintar di sekolahnya, selalu mendapatkan juara di kelasnya, ia pun aktif
di organisasi dan memiliki prestasi di bidang nonakademis. Saya menanggapi hal
tersebut dengan menyampaikan bahwa anak tersebut memiliki profil yang baik,
dengan ia berprestasi, saya pikir bahwa anaknya memiliki kemampuan belajar yang
baik dan motivasi kuat yang membuatnya berpeluang sukses. Ditambah, saya
temukan bahwa anaknya pun mengikuti bimbingan belajar. Saya menyampaikan bahwa
peluang ia untuk berhasil menjadi mahasiswa UI pun besar.
Lantas, saya bertanya-tanya
mengapa orangtua ini hendak melakukan kecurangan. Ia menjawab bahwa ia ingin
membahagiakan anaknya, ia tidak mau melihat anaknya gagal. Saya menganggap
bahwa caranya adalah salah. Saya pribadi memang sejak awal sudah merasa emosi
dengan tawaran orangtua tersebut untuk mengajak saya melakukan kecurangan.
Namun, saya tetap bertahan dengan tetap mendengarkan dan akhirnya saya secara
asertif menyampaikan bahwa maaf saya tidak dapat membantu dalam hal ini karena
ini tidak sesuai dengan nilai pribadi saya. Dan, saya pun memotivasi orangtua
tersebut untuk memiliki keyakinan terhadap anaknya bahwa ia berpeluang berhasil
berdasarkan profil yang telah saya temukan mengenai anak ini. Saat itu, saya
juga berpikir bahwa setiap anak SMA memiliki hak yang sama untuk dapat
berkuliah di UI, tidak memandang kondisi finansial dan lain sebagainya. Saya
sangat tidak mendukung adanya praktik seperti ini di mana pun, objektivitas
penting dalam seleksi karena nantinya pun akan berdampak bagi orang tersebut
dan lingkungan di sekitarnya.
Kesal memang rasanya, pengalaman
ini adalah pengalaman yang unik. Baru kali ini saya secara langsung untuk
diajak melakukan kecurangan. Jelas, perbuatan ini salah, melanggar keyakinan,
melanggar prinsip keadilan, melanggar nilai-nilai saya. Saya sempat kaget
mendapatkan pengalaman ini. Namun, saya menyadari bahwa hal-hal seperti ini
bisa dikatakan ada dan terjadi di sekitar kita. Saya sebagai bagian dari UI
tentu menganggap ini sebagai tantangan untuk kita harus tetap menjaga
integritas kita dalam mengerjakan profesi dan berperilaku sehari-hari. Dengan
menjaga integritas, menurut saya adalah sesuatu yang membanggakan. Terlebih
lagi, kita harus selalu memberikan contoh yang benar dan positif bagi
lingkungan sekitar kita ditambah lagi, banyak kecurangan telah terjadi di
negara kita. Tindakan kita dengan menjaga diri dari kecurangan dapat dijadikan
contoh atau inspirasi bagi orang-orang untuk melakukan hal yang benar. Dan,
saya merasa yakin ini lah yang Tuhan kehendaki untuk menjadi terang di tengah
dunia yang gelap. Berat memang, tapi tetap harus dicoba dan dilakukan terus-menerus.