Jumat, 22 April 2016

Berintegritas

Di sela pengerjaan tugas negara, saya teringat sebuah pengalaman unik yang perlu saya bagikan agar menjadi pembelajaran bersama. Saya teringat untuk menuliskan atau menceritakan sebuah pengalaman unik yang pernah saya dapatkan. Pembelajaran yang bisa kita ambil di sini adalah banyak, dimulai dari integritas, berkomunikasi secara asertif dan efektif, dan menyadari bahwa kehidupan ini memang terdapat ketidakidealan.

Waktu itu, sekitar sebulan lalu mungkin, ada seseorang kenalan saya yang bertanya apakah saya bersedia untuk menjadi narasumber bagi seorang orangtua yang memiliki anak SMA kelas 3 yang ingin berkuliah di Fakultas Psikologi UI. Lantas, saya menanggapinya dan bersedia untuk dikenalkan dan bertemu dengan orangtua tersebut. Saya merasa salut di awal karena ada orangtua yang mau melibatkan diri untuk keberhasilan anaknya sampai-sampai mau menemui saya untuk berdiskusi. Kesempatan bagi saya untuk bisa sharing dan memberikan impact positif bagi orangtua tersebut agar dapat mendukung anaknya untuk terus berhasil. Saya antusias sekali di awal.

Ketika bertemu dengan orangtua tersebut, kami berjabat tangan dan orangtua tersebut memulai percakapan. Saya mendengarkan dengan penuh atensi terhadap beliau, saya memperhatikan setiap apa yang dibicarakan agar saya dapat memahami dan memberikan respons yang relevan, berkesinambungan, dan konstruktif. Di awal, ia menceritakan mengenai anaknya yang ingin sekali berkuliah di fakultas dengan warna makara biru muda tersebut. Ia menyampaikan bahwa ia sebagai orangtua, ingin melihat anaknya berhasil dan ia ingin dirinya terlibat untuk membuat anaknya berhasil masuk di fakultas tempat saya belajar dan berkembang, serta mendapat gelar sarjana psikologi tersebut.

Saya perhatikan tiap ucapan yang ia keluarkan. Hingga dalam beberapa menit kemudian, saya menangkap, saya memahami bahwa orangtua tersebut memiliki keinginan yang terselubung dari pertemuan kami. Saya bertahan untuk tidak segera memberikan penilaian hingga saya gali lagi dan melakukan paraphrasing. Hingga akhirnya, jelas sudah. Orangtua tersebut menanyakan saya, apakah ada kenalan dosen atau orang di kampus yang dapat membantu anaknya untuk meloloskan anaknya supaya dapat berkuliah di UI. Ia mengajak saya berbisnis, ia akan memberikan uang kepada saya dan kenalan di dalam jika anaknya bisa diberikan satu kursi sehingga dapat berkuliah tanpa harus bersaing dalam ujian seleksi.

Pada awalnya, saya menyampaikan bahwa saya tidak tahu-menahu bahwa apakah dosen saya ada yang menjadi panitia dalam penerimaan mahasiswa atau tidak. Yang sebenarnya, dalam hati saya, ini tidak sesuai dengan diri saya. Saya tidak mau melakukannya. Namun, saya kemudian gali terlebih dahulu mengenai profil anaknya. Anaknya merupakan anak yang pintar di sekolahnya, selalu mendapatkan juara di kelasnya, ia pun aktif di organisasi dan memiliki prestasi di bidang nonakademis. Saya menanggapi hal tersebut dengan menyampaikan bahwa anak tersebut memiliki profil yang baik, dengan ia berprestasi, saya pikir bahwa anaknya memiliki kemampuan belajar yang baik dan motivasi kuat yang membuatnya berpeluang sukses. Ditambah, saya temukan bahwa anaknya pun mengikuti bimbingan belajar. Saya menyampaikan bahwa peluang ia untuk berhasil menjadi mahasiswa UI pun besar.

Lantas, saya bertanya-tanya mengapa orangtua ini hendak melakukan kecurangan. Ia menjawab bahwa ia ingin membahagiakan anaknya, ia tidak mau melihat anaknya gagal. Saya menganggap bahwa caranya adalah salah. Saya pribadi memang sejak awal sudah merasa emosi dengan tawaran orangtua tersebut untuk mengajak saya melakukan kecurangan. Namun, saya tetap bertahan dengan tetap mendengarkan dan akhirnya saya secara asertif menyampaikan bahwa maaf saya tidak dapat membantu dalam hal ini karena ini tidak sesuai dengan nilai pribadi saya. Dan, saya pun memotivasi orangtua tersebut untuk memiliki keyakinan terhadap anaknya bahwa ia berpeluang berhasil berdasarkan profil yang telah saya temukan mengenai anak ini. Saat itu, saya juga berpikir bahwa setiap anak SMA memiliki hak yang sama untuk dapat berkuliah di UI, tidak memandang kondisi finansial dan lain sebagainya. Saya sangat tidak mendukung adanya praktik seperti ini di mana pun, objektivitas penting dalam seleksi karena nantinya pun akan berdampak bagi orang tersebut dan lingkungan di sekitarnya.

Kesal memang rasanya, pengalaman ini adalah pengalaman yang unik. Baru kali ini saya secara langsung untuk diajak melakukan kecurangan. Jelas, perbuatan ini salah, melanggar keyakinan, melanggar prinsip keadilan, melanggar nilai-nilai saya. Saya sempat kaget mendapatkan pengalaman ini. Namun, saya menyadari bahwa hal-hal seperti ini bisa dikatakan ada dan terjadi di sekitar kita. Saya sebagai bagian dari UI tentu menganggap ini sebagai tantangan untuk kita harus tetap menjaga integritas kita dalam mengerjakan profesi dan berperilaku sehari-hari. Dengan menjaga integritas, menurut saya adalah sesuatu yang membanggakan. Terlebih lagi, kita harus selalu memberikan contoh yang benar dan positif bagi lingkungan sekitar kita ditambah lagi, banyak kecurangan telah terjadi di negara kita. Tindakan kita dengan menjaga diri dari kecurangan dapat dijadikan contoh atau inspirasi bagi orang-orang untuk melakukan hal yang benar. Dan, saya merasa yakin ini lah yang Tuhan kehendaki untuk menjadi terang di tengah dunia yang gelap. Berat memang, tapi tetap harus dicoba dan dilakukan terus-menerus. 

Sudahkah dan maukah kita menjaga integritas?