Sabtu, 23 Februari 2013

Program Pelatihan Teknik Dasar Konseling pada Peer Counselor di BKM UI


Analisis kebutuhan program pembelajaran
            BKM UI (Badan Konseling Mahasiswa Universitas Indonesia) merupakan sebuah badan pelayanan berupa bantuan konseling milik Universitas Indonesia yang ditujukan kepada seluruh mahasiswa UI. Setiap tahunnya, jumlah mahasiswa baru UI bertambah secara signifikan. Fakta ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi BKM UI. Hal ini disebabkan kemungkinan berbagai masalah yang dimiliki mahasiswa perlu dikumpulkan untuk tindakan selanjutnya, baik preventif maupun kuratif (Sukadji, 1990). Maka dari itu, BKM UI merancang sebuah program, yakni peer counselor pada tahun 2012 untuk menjangkau mahasiswa yang tersebar di berbagai fakultas. Tujuan dari program ini adalah tindakan preventif. Peer counselor berfungsi untuk mengenali dan mendeteksi masalah yang terjadi pada mahasiswa UI.
            Akan tetapi, peer counselor perlu dilatih kemampuannya agar dapat berfungsi secara efektif dan efisien. Pelatihan yang akan diberikan adalah teknik dasar konseling. Teknik dasar konseling di sini adalah empati dan wawancara. Kedua kemampuan ini merupakan faktor penting dan mendasar yang perlu dipahami seorang konselor karena mempunyai pengaruh (Gunarsa, 2009). Berempati merupakan dasar utama yang perlu dilakukan oleh seorang peer counselor dalam membangun sebuah hubungan. Diharapkan, ketika sebuah hubungan sudah terbentuk, mahasiswa sebagai “klien” menjadi lebih terbuka mengenai dirinya sehingga pengetahuan dan pemahaman terkait masalah dapat diperoleh oleh peer counselor. Dilanjutkan dengan kemampuan wawancara, teknik ini merupakan cara umum yang penting sekali untuk dilatih. Melalui wawancara, peer counselor dapat menggali informasi secara sistematis sehingga memungkinkan menemukan masalah sesungguhnya yang terjadi pada mahasiswa.
            Meskipun para peer counselor pernah mendapatkan pelatihan sejenis ini, sangat disayangkan bahwa tidak terdapat evaluasi atau asesmen keberhasilan dari pelatihannya, segi kuantitas atau kualitas. Dengan kata lain, pelatihan yang sudah dilaksanakan ini tidak dapat memastikan kemampuan peer counselor dalam mengerjakan fungsi tugasnya. Padahal, evaluasi menjadi indikator efektivitas pelatihan yang diberikan dalam mencapai sasaran belajar (Rubiyanto, 1993). Oleh sebab itu, saya membentuk program pembelajaran berupa pelatihan agar dapat mengoptimalkan kinerja dari peer counselor di BKM UI.
      

Rasionale teoritis program pembelajaran
            Dalam program pembelajaran ini, saya menggunakan teori sociocultural oleh Vygotsky, discovery learning oleh Brunner, dan multiple intelligence oleh Gardner. Dikarenakan program pembelajaran ini berupa pelatihan, saya juga menggunakan pendekatan pelatihan, experiential learning (belajar berdasarkan pengalaman) oleh Kolb sebagai konsep menyeluruh dari pelatihan ini. Ditunjang pun dengan menggunakan penjelasan mengenai pelaksanaan pelatihan dan prinsip belajar oleh Mitchell.
            Teori sociocultural merupakan sebuah teori dimana peserta belajar membangun pengetahuannya berdasarkan interaksi dengan adult (orang lain yang lebih mampu) melalui transfer alat pembelajaran. Adult mentransferkan informasi atau materi belajar dengan menggunakan tools (alat) yang bersifat psychological (psikologis) dan technical (teknis). Sebagai contoh, seorang ahli public speaking melatih sejumlah mahasiswa jurusan ilmu komunikasi dengan menyampaikan materi yang relevan mengenai public speaking melalui acara seminar interaktif. Melalui contoh ini, materi public speaking sebagai technical tool, sedangkan penyampaian melalui seminar interaktif ini adalah psychological tool.
            Teori discovery learning adalah sebuah teori yang menjelaskan bahwa peserta belajar secara aktif mengalami pengembangan pengetahuan berdasarkan pengalamannya yang subjektif dan mandiri. Dalam teori ini, peserta belajar merupakan pembelajar utama, adult dan peserta lain dianggap kurang atau tidak signifikan terhadap pengembangan pengetahuan. Dengan kata lain, fungsi orang lain dari peserta belajar berperan hanya sedikit. Sebagai contoh, seorang dosen dengan mata kuliah konseling memberikan perkuliahan terhadap mahasiswanya dengan memberikan tugas mandiri. Dosen hanya menyampaikan materi perkuliahan dan memberikan informasi yang sifatnya clueless terkait tugasnya. Konsekuensi terhadap tindakan dosen tersebut adalah bahwa mahasiswa akan berusaha secara aktif agar dapat menyelesaikan tugas dengan tepat hingga mencapai predikat yang memuaskan sebagai reinforcement. Berdasarkan contoh ini, mahasiswa sebagai peserta belajar bertindak aktif dalam pengalaman proses pengerjaan tugasnya, sedangkan dosen berperan hanya memberikan informasi yang minimal.          
            Teori multiple intelligence yaitu sebuah teori yang meyakini bahwa setiap peserta belajar memiliki kecerdasan spesifik yang berbeda-beda, dimana kecerdasan ini perlu dikembangkan agar menghasilkan tingkah laku untuk mengatasi masalah tertentu. Terdapat berbagai kecerdasan yang pada umumnya dimiliki oleh peserta belajar. Jika kecerdasan ini dilatih terus-menerus, kemampuan tertentu pada peserta belajar akan semakin berkembang sehingga sangat memungkinkan membantunya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, seorang mahasiswi psikologi memiliki kecerdasan interpersonal yang baik. Pernyataan ini telah dibuktikan melalui berbagai tes yang pernah diikutinya. Mahasiswi ini sangat mudah dan pandai membangun dan mempertahankan sebuah hubungan dengan orang di sekitanya. Selain itu, bilamana terjadi konflik dengan temannya, ia cenderung menyelesaikannya dengan asertif. Dari contoh ini, mahasiswi tersebut memiliki kecerdasan interpersonal yang dikembangkan secara berkelanjutan dalam hubungan dengan orang di sekitarnya. Pengembangan ini menyebabkan mahasiswi dapat menyelesaikan konflik interpersonal dengan baik dan benar.
            Pendekatan pelatihan oleh Kolb, experiential learning yakni sebuah pendekatan sistematis yang mendasarkan pengalaman pada peserta belajar sebagai tahapan yang mendukung pencapaian sasaran pembelajaran yang dibentuk melalui pelatihan. Kolb pun menyediakan sebuah model atau yang dikenal sebagai daur Kolb dalam pendekatan ini:



Gambar: Daur Kolb (Slide Perkuliahan Sesi V, Pelatihan 1, 2012)
            Ditampilkan dalam gambar daur Kolb, siklus terbentuk secara bertahap melalui empat proses, yakni concrete experience, reflective experience, abstract conceptualization, dan active experimentation. Tahapan pertama, concrete experience adalah tahap dimana seorang peserta belajar mengalami kejadian nyata. Tahapan kedua, reflective observation ialah tahap dimana seorang peserta belajar mengamati dan merefleksikan kembali kejadian yang dialami di tahap satu. Tahapan ketiga, abstract conceptualization adalah tahap dimana seorang peserta belajar memformulasikan atau menyimpulkan suatu hal terkait dirinya atau ide tertentu berdasarkan tahap dua. Tahapan keempat, active experimentation ialah tahap dimana seorang peserta belajar menggeneralisasikan produk tahap tiga melalui tingkah laku baru yang menjadi tujuan pembelajaran. Siklus ini kemudian dirancang agar terjadi secara terus-menerus agar menguatkan atau meningkatkan kemunculan dari tingkah laku yang diharapkan dari pelatihan.    
            Teori terkait pelaksanaan pelatihan dijelaskan Mitchell (1987), dimana diuraikan berdasarkan langkah-langkah yang terperinci (Rubiyanto, 1993). Kegiatan pertama kali yang harus dipersiapkan adalah asesmen kebutuhan. Dengan kata lain, tujuan dari pelatihan ini hendak dilakukan didasarkan oleh penyebab tertentu karena ada masalah atau tantangan yang dihadapi. Misalnya, mengantisipasi perkembangan teknologi maka seorang karyawan diberikan pelatihan yang relevan. Terdapat berbagai macam kebutuhan lainnya yang biasanya menjadi dasar pelaksanaan suatu pelatihan. Setelah kebutuhan sudah jelas, langkah berikutnya adalah sasaran pelatihan atau target tingkah laku pembelajaran apa yang akan dicapai atas dasar kebutuhan pelatihan. Sasaran ini merupakan bagian yang penting dalam penyelenggaraan pelatihan. Oleh sebab itu, tingkah laku yang dilatih harus didefinisikan secara operasional, konkret, serta dapat diukur agar efektif.
            Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan pelatihan yang terdiri dari beberapa langkah, antara lain langkah persiapan, penyajian, praktik, dan evaluasi. Dalam pelatihan, persiapan bertujuan untuk memotivasi dan mengarahkan peserta pelatihan terhadap pelaksanaannya dengan menggunakan strategi-strategi tertentu, misalnya bermain games, diskusi partisipatif, dan lain-lain. Dilanjutkan dengan penyajian, pelatih menyampaikan materi kepada peserta pelatihan, dimana memberlakukan teknik yang relevan dan mendukung sasaran tingkah laku pembelajaran. Teknik yang biasanya dilakukan adalah teknik satu atau dua arah. Setelah langkah penyajian, para peserta memasuki langkah praktik, dimana pembelajaran yang sudah diterima diaplikasikan agar pelatihan menjadi efektif. Beberapa metode praktis dapat dimanfaatkan dalam langkah ini, seperti tes tertulis, tes oral, role-play, studi kasus, dan seterusnya. Diakhiri dengan evaluasi, langkah ini bersifat penting karena dapat dilihat bagaimana efektivitas pelatihan ini, yakni seberapa jauh sasaran tingkah laku pembelajaran telah tercapai. Cara yang biasa digunakan pun beragam, antara lain penggunaan alat tes, pengerjaan proyek pemecahan masalah, praktik dalam keadaan sebenarnya, studi kasus, role-play, dan konseling pribadi.
            Pelatihan merupakan salah satu bentuk aktivitas yang didasarkan atas proses belajar (Rubiyanto, 1993). Oleh sebab itu, pelatihan sudah seharusnya disusun dengan mengikuti prinsip-prinsip belajar yang dikemukakan oleh Mitchell (1987) sebagai berikut:
1. Partisipasi, diperlukan keterlibatan aktif dari peserta pelatihan agar proses belajar menjadi lebih cepat dan tahan lama, learning by doing.
2. Pengulangan, tingkah laku yang dipelajari akan relatif menetap jika diberikan kesempatan untuk melakukan repetisi.
3. Relevansi, materi pelatihan yang diberikan bermakna bagi para peserta agar dapat menemukan keterkaitan dari tugas dan hubungan dari prosedur dalam penyajian materi.
4. Transferens, kesesuaian antara materi yang dipelajari dan sasaran tingkah laku pembelajaran dalam kegiatan atau pekerjaan yang nyata akan memudahkan pembelajaran yang dialami peserta pelatihan.
5. Keunikan, didasari pada individual differences. Pelatihan perlu disesuaikan diri peserta.
Gambaran umum program pembelajaran
            Program pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan teknik dasar konseling pada peer counselor di BKM UI. Teknik dasar konseling di sini dioperasionalkan menjadi kemampuan berempati dan melakukan wawancara. Manfaat dari pelatihan ini adalah mengoptimalkan fungsi dari peer counselor dalam mengerjakan tugasnya, yakni mengenali dan mendeteksi masalah yang sebenarnya terjadi pada mahasiswa UI. Maka dari itu, diharapkan BKM UI akan terbantu dalam hal menjalankan fungsi dan perannya sebagai lembaga konseling mahasiswa di Kampus UI.
            Dasar dari pelatihan mengimplementasikan ketiga teori dari Vygotsky, Brunner, dan Gardner. Alasannya adalah bahwa ketiga teori ini akan mendukung pencapaian sasaran tingkah laku pembelajaran. Pelatihan sebagai metode belajar dikemas dalam pendekatan pelatihan Kolb. Penggunaan pendekatan ini dianggap sesuai untuk mencapai keberhasilan dari pelatihan karena tidak hanya memfasilitasi pemahaman pada konsep, melainkan menjadi sarana dalam mengembangkan suatu kemampuan tertentu (Silberman, 2006). Dari segi pelaksanaannya, diterapkan pembahasan dari Mitchell mengenai pelaksanaan pelatihan secara langsung serta menyeluruh. Diharapkan keseluruhan pemanfaatan teori dan pendekatan mampu merealisasikan jawaban atas kebutuhan peer counselor di BKM UI.
            Dalam pelatihan ini, peserta ialah mahasiswa UI yang terdaftar sebagai peer counselor di BKM UI pada tahun 2013. Mereka diwajibkan untuk mengikuti pelatihan ini sebelum melakukan tugasnya. Pelatihan yang diberikan adalah berempati dan melakukan wawancara. Segala aktivitas yang terjadi dalam pelaksanaannya kelak mendukung keberhasilan dari pelatihan ini. Program berlangsung selama tiga hari, dimana alokasi waktu diberikan pada dua minggu berurutan. Pada minggu pertama, pelatihan dilakukan pada hari Jumat dan Sabtu. Waktu yang dioptimalkan selama delapan jam, 08.00 s/d 16.00 WIB, dengan jam istirahat pada 12.00 s/d 13.00 WIB. Dilanjutkan pada minggu kedua, pelatihan diberikan pada hari Sabtu dengan rentang waktu yang sama dengan pelatihan di minggu pertama. Pelatihan pada minggu pertama dikhususkan pada pelatihan berempati, kemudian minggu kedua ialah pelatihan melakukan wawancara. Penentuan waktu ini didasari konsep ideal dalam suatu pelatihan, dimana pelatihan soft-skill membutuhkan waktu minimal dua hari, serta pelatihan hard-skill cukup dengan seharian penuh.
            Peer counselor sebagai peserta akan difasilitasi oleh trainer dan mentor dari ranah psikologi. Mereka adalah psikolog dan imuwan psikologi dari UI yang terbukti memiliki kecakapan dan kemampuan dalam melatih tingkah laku pembelajaran. Namun, peserta juga diberikan kesempatan untuk belajar secara aktif dan mandiri. Misalnya, kesempatan bertanya dan mengajukan pendapat dalam sesi tertentu atau pemberian tugas pribadi selama pelatihan. Mendukung pencapaian sasaran tingkah laku pembelajaran, aktivitas akan menstimulasi kecerdasan interpersonal para peserta. Evaluasi juga akan dilaksanakan secara berkala di sesi akhir dari praktik pelatihan. Dalam sesi evaluasi, ditekankan seberapa jauh pemahaman dan seberapa tepat indikator tingkah laku pembelajaran mampu diaplikasikan oleh para peserta. Segala sesuatu yang disiapkan ini diharapkan dapat menyukseskan program pelatihan.

Uraian program pembelajaran
1. Peserta
Peserta dalam pelatihan ini adalah peer counselor angkatan 2013. Kriteria peserta ini didasarkan mereka belum memiliki pengalaman mengikuti pelatihan seperti peer counselor angkatan 2012. Selain itu, efektivitas dan efisiensi pelatihan juga menjadi pertimbangan sehingga tidak melibatkan peer counselor angkatan 2012.
2. Sasaran tingkah laku
Terdapat dua sasaran tingkah laku dari pelatihan ini, yaitu peer counselor angkatan 2013 mampu melakukan empati dan wawancara.
3. Definisi dan indikator tingkah laku
Berdasarkan kamus kompetensi oleh Spencer & Spencer, empati didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami hal-hal yang tidak diungkapkan dengan perkataan yang dapat berupa atas pemahaman perasaan, keinginan, atau pemikiran dengan orang lain. Menurut Ivey (dalam Gunarsa, 2009), wawancara diformulasikan sebagai kemampuan menggunakan metode pengumpulan data berdasarkan dua dari lima tahapan dalam struktur wawancara dalam konseling, ditambahkan penyimpulan masalah sebagai fungsi dari peer counselor. Definisi tersebut kemudian dijadikan beberapa indikator sebagai berikut:
a. Indikator tingkah laku empati:
    - Memahami isi pesan verbal dan emosi orang lain
    - Memahami dengan penuh pengertian
    - Memahami isu yang ada di balik percakapan
b. Indikator tingkah laku wawancara:
    - Membangun rapport
    - Mengumpulkan data secara sistematis
    - Menyimpulkan masalah dengan komprehensif
4. Prosedur pelaksanaan program
Pelatihan empati dan wawancara ini akan disusun berdasarkan hari pelaksanaannya.
    I. Pelatihan Empati Sesi 1 (Minggu ke-1, 08.00-16.00 WIB)
            Dalam tahap persiapan, penyelenggara pelatihan akan disampaikan terlebih dahulu oleh ketua dari BKM UI. Ketua BKM UI memberikan kata sambutan dan motivasi kepada peserta pelatihan (trainee), sekaligus menjelaskan secara singkat mengenai jadwal dan rundown pelatihan lalu sasaran tingkah laku pembelajaran yang hendak dicapai. Peer counselor akan dilatih kemampuan dalam berempati dan melakukan wawancara untuk membantu kinerja dan tugas mereka. Penjelasan yang diberikan di awal ini bertujuan mentransferkan informasi kepada peer counselor agar mereka mengetahui inti dari pelatihan ini. Diharapkan hal ini akan membantu trainee dalam mengembangkan pengetahuan dan pembelajaran apa saja yang akan dialami oleh mereka. Diakhiri dengan pengenalan para trainer dan mentor yang akan memfasilitasi peserta selama pelatihan berlangsung.
            Trainer mengawali kegiatan dengan memberikan beberapa pertanyaan yang merangsang trainee untuk berpikir dan membangun pengetahuan dasar terkait tingkah laku yang akan dilatih. Contoh pertanyaan sederhana yang diberikan, misalnya “apakah yang kalian ketahui tentang empati?”, “apakah perbedaan empati dan simpati?”, “apakah tujuan dari empati?”, dan seterusnya Trainee diajak untuk mengemukakan pendapat pribadinya tanpa ditunjuk, namun, jika tidak ada yang berinisiatif menjawab pertanyaan, trainer akan menunjuk trainee yang berulang tahun pada bulan tertentu dengan pembawaannya yang menyenangkan. Cara tersebut pun kiranya dapat mencairkan suasana. Trainer kemudian memperkenalkan diri kepada seluruh trainee yang hadir. Perkenalan ini disiapkan sebelumnya agar menimbulkan ketertarikan dalam diri peserta terhadap bidang konseling. Strategi yang digunakan tidak secara konvensional, sekadar menampilkan daftar riwayat hidup, namun berbagi pengalaman berkesan yang diberikan oleh trainer. Ketertarikan ini diyakini akan memotivasi trainee yang memang sebelumnya memiliki minat terhadap program peer counselor agar semakin siap dan bersemangat dalam mengikuti pelatihan.  
            Aktivitas berikutnya, tahap penyajian, dimana trainer memberikan penjelasan secara lengkap mengenai empati dengan metode presentasi-partisipatif. Para trainee diperbolehkan untuk bertanya dan/ atau mengemukakan pendapat selama sesi presentasi. Metode interaktif ini bertujuan supaya trainee dapat mengembangkan pengetahuan hingga membentuk pemahaman awal. Setelah presentasi dan diskusi, trainee pun ditawarkan untuk menyatakan kesimpulan dari apa yang mereka dapat selama sesi penyajian dan hasil diskusi. Kemudian, sesi ini dilanjutkan dengan istirahat selama satu jam hingga dilanjutkan ke tahap praktik.
            Memasuki tahap praktik, para trainee dikondisikan terlebih dahulu oleh trainer, dimana trainer bertanya tentang apa saja yang mereka lakukan selama istirahat atau kesan terhadap makan siang yang telah disediakan oleh BKM UI. Kemudian, trainer melakukan permainan yang menyenangkan untuk mengembalikan dan mengarahkan minat dan motivasi trainee untuk melanjutkan pelatihan. Pada dasarnya, praktik melatih kemampuan berdasarkan pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh dari tahap penyajian. Tahap praktik di sini akan melatih dua indikator dari empati, yaitu (1) memahami isi pesan verbal dan emosi orang lain dan (2) memahami dengan pengertian.
            Trainee akan menonton sebuah film dengan konten emosional. Film yang berdurasi sekitar hampir dua jam ini dilanjutkan dengan sesi diskusi bersama mentor. Mentor di sini adalah konselor dari pusat klinik terpadu di Fakultas Psikologi UI. Keterlibatan mentor sebagai fasilitator yang memimpin diskusi dan menyelia proses diskusi. Pada sesi ini, trainee dibentuk ke dalam beberapa kelompok yang beranggotakan empat hingga lima di dalamnya. Mentor mengawali diskusi dengan bertanya mengenai film, seperti “apa saja yang kamu saksikan dari film barusan?”, “apa yang dirasakan oleh tokoh tersebut akibat kejadian naas yang dialaminya?”, “apa pesan yang bisa kamu ambil dari tokoh di film ini?”, dan lain-lain. Melalui diskusi ini, anggota kelompok dapat saling belajar, misalnya mengelaborasi setiap jawaban yang satu dengan lainnya. Mentor mengobservasi setiap jawaban yang muncul oleh setiap anggota sebagai langkah evaluasi. Jawaban yang diharapkan muncul adalah mencapai indikator tingkah laku pertama dari empati, yakni memahami isi pesan verbal dan emosi orang lain. Diskusi kelompok kecil ini ditutup oleh mentor dengan membagikan saran praktis dan cerita pengalaman terkait indikator pertama. Setelah sesi ini, trainee diberikan tugas kembali, yaitu latihan pemecahan masalah. Pengerjaan tugas ini adalah secara individual. Ditujukan supaya trainee dapat mengembangkan informasi yang didapat selama pelatihan ini secara mandiri hingga mendapatkan sebuah insight yang bermakna baginya. Trainee mengerjakan soal kasus terkait hubungan interpersonal. Penggunaan kasus ini bertujuan untuk menstimulasi kecerdasan interpersonal yang dimiliki oleh trainee karena berempati akan semakin baik jika kecerdasan interpersonal juga dikembangkan. Respons yang dituliskan dalam lembar jawaban studi kasus dijadikan evaluasi untuk melihat kemunculan indikator tingkah laku kedua, yaitu memahami dengan penuh pengertian.       
            Sesi praktik dan evaluasi pelatihan empati sesi 1 telah berakhir. Namun, trainer berpesan kepada seluruh trainee untuk menuliskan laporan dalam bentuk jurnal harian, serta melatih kemampuan ini di luar sesi yang juga ditulis dalam laporannya. Trainee diminta untuk menuliskan pengalaman yang didapat selama pelatihan hari tersebut dan hasil latihan individu, demikian insight dan strategi pengaplikasian tingkah laku di masa depan sebagai peer counselor. Laporan ini akan dikumpulkan pada minggu kedua, pelatihan empati sesi 2.
    II. Pelatihan Empati Sesi 2 (Minggu ke-2, 08.00-16.00 WIB)
            Pertemuan pada pelatihan empati sesi 2 ini diawali pengumpulan laporan setiap trainee kepada mentor kelompok masing-masing. Laporan ini akan diberikan feedback, diberikan tiga hari setelah hari pengumpulan. Pemberian feedback ini bertujuan memberikan kesempatan pada trainee untuk mengetahui ketepatan penguasaan materi yang telah diberikan. Diharapkan trainee mendapatkan insight penting yang mendorongnya dalam menguasai tingkah laku.
            Aktivitas dilanjutkan dengan icebreaking dan obrolan singkat oleh trainer. Seusai pengondisian, tahap persiapan memakai role-play, dimana trainee berpasangan melakukan sebuah dialog yang dilakukan secara bergantian, yang satu menjadi peer counselor, lainnya menjadi seorang mahasiswa. Peer counselor belajar untuk memahami masalah yang diceritakan oleh mahasiswa. Trainee diarahkan untuk mengalami sendiri ketika ia sedang berhadapan dengan mahasiswa nanti. Dari kegiatan ini, trainee mampu mengembangkan pemahaman dan aplikasi sederhana secara mandiri. Tahap persiapan ini sudah menyinggung indikator tingkah laku ketiga, memahami isu yang ada di balik percakapan.
            Role-play diakhiri dengan debriefing terpusat oleh trainer. Para trainee akan diberikan beberapa pertanyaan dalam diskusi forum terbuka. Contoh pertanyaan yang disampaikan, antara lain “bagaimana proses dalam percakapan?”, “apa sajakah informasi yang didapat?”, “adakah strategi yang dilakukan untuk mengambil inti permasalahan?”, “adakah perasaan sulit selama melakukan role-play?”, dan seterusnya. Trainer menggali informasi dengan mem-probing kepada trainee. Melalui diskusi terbuka ini, dilakukan supaya trainee dapat belajar satu sama lain. Setelah itu, trainer menyimpulkan secara singkat mengenai hasil diskusi. Dilanjutkan dengan penyajian materi dengan metode ceramah oleh trainer. Metode tradisional ini sengaja dilakukan untuk mencegah kebosanan bagi trainee dengan menstimulisasi mereka untuk belajar serta mengusahakan pembelajaran pada kognitif masing-masing secara aktif mandiri. Penyajian dilanjutkan kembali setelah satu jam istirahat siang.
            Berakhirnya istirahat siang, pelatihan dilanjutkan dengan obrolan interaktif, dimana trainer sengaja menanyakan kesan selama mengikuti pelatihan minggu lalu dan memberikan kesempatan kepada trainee untuk menceritakan hasil laporan yang telah dikerjakan minggu lalu. Trainer menanggapi setiap trainee dan sedikit memberikan feedback. Obrolan ini dijadikan kesempatan bagi trainer untuk mengevaluasi trainee sekaligus menjadi bahan pembelajaran bagi trainee secara individu. Lalu, pelatihan memasuki tahap praktik, trainee dimasukkan ke dalam kelompok kecil yang beranggotakan empat orang di dalamnya serta didampingi oleh mentor. Dalam kelompok kecil, trainee melakukan simulasi, dimana melibatkan mahasiswa UI yang berperan seseorang memiliki masalah dalam manajemen waktu yang menyebabkan prestasi akademis yang rendah. Masalah ini sengaja disiapakan agar memberikan gambaran peer counselor tentang masalah umum yang terjadi pada mahasiswa. Simulasi dilakukan oleh dua trainee, sedangkan dua trainee lainnya mengobservasi. Di samping itu, simulasi ini juga diharapkan memunculkan indikator tingkah laku yang telah dilatih miinggu lalu. Pada akhir simulasi, trainee sebagai pengamat akan memberikan feedback yang dipimpin oleh seorang mentor. Selama simulasi berlangsung, trainee lainnya dapat belajar melalui observasi pribadi. Di akhir simulasi, diskusi kembali dipimpin oleh mentor. Tugas mentor di sini menggali setiap peristiwa dan pengamatan yang terjadi pada trainee. Kemudian, mentor memberikan pertanyaan yang memunculkan indikator tingkah laku yang ketiga dan keterkaitan dengan dua indikator sebelumnya. Seusai kegiatan kelompok kecil, pelatihan empati sesi 2 diakhiri dengan pemberian tugas mengerjakan laporan seperti minggu lalu. Feedback pun akan dikembalikan setelah tiga hari pengumpulan laporan di minggu berikutnya.
    III. Pelatihan Wawancara (Minggu ke-3, 08.00-16.00)
            Trainee terlebih dahulu mengumpulkan tugas laporan kepada trainer. Kemudian, pelatihan dibuka dengan kata sambutan dari kepala direktorat kemahasiswaan selaku yang membawahi BKM UI dalam struktur organisasi. Trainer memulai pelatihan dengan melakukan icebreaking seperti biasa, kemudian menayangkan sebuah video. Isi video ini menggambarkan situasi wawancara yang dilakukan oleh seorang konselor kepada klien. Video ini menyinggung indikator tingkah laku wawancara, yakni membangun rapport, mengumpulkan data secara sistematis, dan menyimpulkan masalah dengan komprehensif. Seusai penayangan video, trainee diminta untuk berdiskusi dalam kelompok yang terdiri empat atau lima anggota. Diskusi kali ini tidak disertai oleh mentor supaya trainee pun dapat belajar secara mandiri melalui interaksi kelompok. Setiap kelompok kecil diberikan pertanyaan yang perlu didiskusikan, yaitu “apakah proses yang dilakukan oleh peran dalam video?”, “bagaimana proses yang dilakukan oleh peran?”, “apakah tujuan pelaksanaan proses yang dilakukan oleh peran?”, dan seterusnya. Hasil diskusi akan dipresentasikan oleh kelompok secara bergantian. Setiap presentasi akan diberikan komentar oleh trainer serta apresiasi yang berguna menguatkan tingkah laku dan memotivasi trainee dalam mengikuti tahap pelatihan selanjutnya.
            Tahap persiapan tersebut diakhiri dengan melanjutkan istirahat siang. Sejam berlalu, trainer mengondisikan trainee agar siap dan fokus belajar dalam pelatihan. Trainer memberikan materi melalui presentasi. Materi merupakan penjelasan mengenai wawancara itu sendiri. Seusai penyampaian materi, trainee dilibatkan untuk bertanya atau mengemukakan pendapat mengenai topik materi. Manfaat dari sesi ini adalah membantu pemahaman trainee mengenai wawancara itu sendiri. Jawaban trainer juga memfasilitasi pembentukan pemahaman kepada seluruh trainee. Sesi ini kemudian dilanjutkan ke tahap praktik, metode yang digunakan adalah role-play. Aplikasi ini dilakukan berpasangan, dimana satu berperan sebagai interviewer dan lainnya sebagai interviewee. Aktivitas yang dilakukan bergantian ini disupervisi oleh trainer dan mentor secara observasi keliling. Melalui role-play, diharapkan ada pembelajaran yang didapat oleh masing-masing trainee. Di samping itu, mengembangkan minat mereka dalam melakukan wawancara atas dasar interaksi interpersonal. Seusai praktik¸ trainee kembali fokus terhadap trainee. Dalam sesi evaluasi sederhana ini, trainee memberikan feedback dan apresiasi atas dasar hasil observasi keliling selama praktik role-play berlangsung. Selanjutnya, trainee meminta perwakilan dari seluruh trainee untuk menceritakan kembali pengalaman, baik teknis maupun perasaan selama melakukan role-play. Kemudian, memberikan kesempatan pada trainee untuk bertanya serta mengemukakan pendapat pribadinya. Seluruh aktivitas yang terjadi disengaja untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman sehingga membantu penguasaan terhadap aplikasi. Selain itu, terkait masing-masing trainee, mereka diharapkan dapat memeroleh insight pribadi.
            Evaluasi besar dilakukan berdasarkan alat ukur yang disediakan sebelumnya. Evaluasi ini menilai kecenderungan aplikasi yang dilakukan oleh trainee dalam wawancara. Wawancara dilakukan antara trainer dan/ atau mentor kepada trainee. Wawancara dilakukan dalam ruangan, dimana beberapa asesor mewawancarai masing-masing satu trainee. Hal ini diterapkan untuk mencegah efek belajar jika wawancara dilakukan dalam kelompok trainee. Selesai evaluasi ini, pemberian tugas laporan kembali meminta trainee untuk mengerjakannya seperti biasa. Di akhir pelatihan, seluruh trainee dikumpulkan lalu diminta beberapa trainee mengemukakan pesan dan kesan terhadap pelatihan ini. Kemudian, trainee dimohon kesediaan untuk mengisi lembar evaluasi terhadap keseluruhan pelatihan. Apresiasi diberikan kepada seluruh trainer dan mentor dengan memberikan piagam dan kenang-kenangan. Selain itu, trainee pun diberikan kenang-kenangan dan sertifikat.   
5. Kebutuhan-kebutuhan program
Pelatihan ini tidak dapat berjalan jika tidak melibatkan sumber daya. Beberapa kebutuhan yang digunakan dalam pelatihan sebagai berikut:
- Sejumlah trainer dan mentor yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan
- Sejumlah mahasiswa sebagai pendukung simulasi
- Ruangan yang cukup luas dengan suhu ruangan yang sejuk
- Meja dan kursi yang ergonomis
- Catering untuk istirahat makan siang
- Alat dan perlengkapan selama sesi penyajian pelatihan
- Film dan video sebagai stimulus pembelajaran
- Naskah studi kasus
- Lembar evaluasi dan alat ukur
- Piagam penghargaan dan kenang-kenangan untuk trainer dan mentor
- Kenang-kenangan dan sertifikat pelatihan untuk trainee





DAFTAR PUSTAKA

            Gunarsa, S. D. (2009). Konseling dan psikoterapi. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

            Marantika, D., Sarinastiti, M., & Febrianti, R. (2012). Kunungan BK dan psikolog sekolah di perguruan tinggi: Badan Konseling Mahasiswa Universitas Indonesia (BKM UI). PowerPoint File MK Psikologi Sekolah Kelas A. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

            Pratiwi, A. P., Aryaningtyas, A. D., Ikram, R. B., Damayanti, R. R., & Natasya, Y. (2012). Pelatihan asertivitas untuk menolak perilaku negatif akibat tekanan teman sebaya pada remaja. Tugas Akhir Mata Kuliah Pelatihan II Rancangan Program Structured Experience (SE). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

            Rubiyanto, R. R. (1993). Uji coba pelatihan empati pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Skripsi Psikologi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

            Silberman, M. (2006). Active training (3th ed.). San Fransisco: Pfeiffer.

            Spencer & Spencer. Kamus kompetensi (PDF File).

            Sukadji, S. (1990). Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah. Depok: Urdat Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

            Tim Dosen Pelatihan 1. (2012). Belajar melalui pengalaman terstruktur (structured experience). PowerPoint File MK Pelatihan 1 Kuliah 5. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.


NARASUMBER:
-       DM, peer counselor BKM UI angkatan 2012
-       MAPK, peer counselor BKM UI angkatan 2012
-       SRR, mahasiswa MK Pelatihan 2 Fakultas Psikologi UI
-       RRD, mahasiswa MK Pelatihan 2 Fakultas Psikologi UI
-       DN, konselor Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar