Di tengah pengerjaan profesi
sebagai asesor, saya termenung lalu berpikir dan berefleksi. Saat ini, saya
baru saja mengalami sebuah kegagalan. Bagi saya, kegagalan bukan lah suatu
keberhasilan yang tertunda seperti yang dikatakan oleh orang yang positif dan
begitu optimis. That’s good! But for me, kegagalan simply adalah sebuah
pengalaman dalam proses hidup menuju kesuksesan. Eits sama aja ya. Hahaha.
Engga deng. Selain pengalaman dalam proses hidup, kegagalan merupakan momen
dimana kita bergerak untuk menyadari bahwa ada sesuatu yang belum cocok atau
momen dimana kita bisa semakin mengenali dan memahami diri kita seperti apa.
Ketidakcocokan dalam konteks ini secara khusus adalah dalam konteks mencari
pekerjaan atau kuliah. Proses seleksi yang dilakukan adalah proses yang wajar
bagi user untuk menemukan kandidat yang pas bagi dia. Secara khusus, di sini
bukan lah saja soal kompetensi atau skill, melainkan lebih ke hal personal,
misalnya kepribadian dan terlebih lagi values. Memang sih, values ini merupakan
dasar yang menentukan perilaku kita dalam menanggapi semua stimulus atau kejadian
yang menghampiri kita di depan mata. Pembentukan values ini butuh waktu yang
lama dan sulit diubah seiring bertambahnya pengalaman dan kematangan diri.
Jadi, memang susah ditoleransi kalau memang sudah jauh gap-nya.
Sebenernya apa sih tujuan gue
nulis ini? Engga tahu sekarang. Biar aja nanti kesimpulannya muncul di akhir
setelah semua ngalir aja nih dari otak ke laptop sampe gue bisa identifikasi
sebenernya apa tujuannya. Haha. Begini lah anaknya gue, lebih suka yang spontan
atau fleksibel. Namun, bukan berarti gue engga suka berencana atau memiliki
tujuannya ya. Gue bisa bertahan hidup aja karena gue punya tujuan. Eaa. Kenapa
nulis begitu? Karena ada aja orang yang mudah membuat kesimpulan tanpa menjadi
objektif, misalnya mengamati setiap perilaku, mengaitkannya dengan situasi dan
konteks, dan lain sebagainya. Apalagi entah sekarang sepertinya makin banyak
orang yang tampak tidak kritis dan objektif. Di situ aku kadang merasa sedih
dan gemas. Tapi kalau aku memang menggemaskan. Hahaha.
Menjadi diri sendiri sebenernya
adalah anugerah loh. Kenapa? Coba pikirkan sendiri. Haha. Gini, gue percaya
bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling baik. Kita dibandingkan hewan,
tentu jelas kan kita paling kece, punya otak untuk mikir, coy! Setuju ga?
Besides, Tuhan ciptain kita dengan purpose loh dan memberikan kesempatan untuk
kita bisa lahir, tumbuh, dan kembang sehingga kita punya kekuatan dan hal
personal utamanya yang menjadi ciri khas masing-masing. Makin ke sini, gue
makin menyadari bahwa gue orang yang menjunjung kebebasan dan keunikan,
tentunya yang positif ya shay, yang engga melanggar moral dan harmful bagi
orang lain di sekitar kita. Well, tetep akan ada kontrol sosial sih. Gimana
pandai dan hikmat kita aja mengelola diri sendiri dan beradaptasi. Iya engga?
Iya dong. Jadi, gue menghargai orang lain mau gimana gayanya selama dia paham
siapa dirinya, tujuannya, dan tidak mengganggu orang lain secara sengaja.
Entah. Budaya timur, yang
sifatnya kolektivis sehingga menyebabkan banyak orang lain melakukan
konformitas. Tunggu dulu. Gue mikir. Kolektivis merupakan paham (mungkin) yang
membuat orang lain selalu mengutamakan tujuan bersama. Iya bukan? Artinya,
penting sekali orang lain mengikuti maunya kelompok. Jadi, ada kecenderungan
bahwa ia akan melakukan konformitas atau menyesuaikan diri dengan lingkungan
umumnya, contohnya ya gimana dari penampilan sehari-hari atau even nilai atau
perilaku yang diusahakan sama dengan kelompoknya. Umm maaf-maaf nih kalo logika
berpikir gue sederhana atau tidak mempertimbangkan aspek lain. Atau mungkin
dasar teori gue ga sesuai dengan teori yang sebenernya. Hahahaha. Santai aja
lah ya. Terus pertimbangan lainnya, media menurut gue punya andil sendiri nih
yang bikin orang lain jadi semakin melihat mana yang baik tampaknya untuk
diikuti. Ulala. Jadi lah orang-orang makin banyak yang engga menjadi dirinya
sendiri. Entah lah. Haha duh maaf ya kalo rada asumtif atau tidak menggunakan
bahan hasil riset. Tapi ini cukup menarik untuk di-explore dan diteliti. Well,
tapi mager. Haha. Harap sampaikan secara lisan untuk saat ini kalau ada yang
mau memberikan masukan. Hehe.
Ya jadi bisa makin menyadari ya
bahwa terjadi fenomena keseragaman di sekitar kita. Bukannya engga bagus karena
pasti ada sisi positifnya juga. Namun, kalau menjadi hilang esensi diri
sendirinya, itu disayangkan sekali. Apalagi kalau misalnya tidak memberdayakan
diri sendiri sesuai dengan potensi dan hal personal lainnya yang kita miliki.
Bayangkan aja kalau berusaha menjadi orang lain atau apa dan gimana pun yang
bukan core kita, capek iya pastinya, belum tentu efektif juga sih. Misalnya,
kalau kita kaitkan lagi dengan cari kerja atau kuliah nih, kalau ga sesuai
dengan minat, bakat, dan kompetensi serta khususnya adalah hal personal, ya
susah juga. Jadi, macem perlu berbangga lah dengan menjadi diri sendiri,
mengeksplor diri, dan terus menjadi manusia yang bertumbuh dan berkembang
bahkan menjadi dampak positif bagi lingkungan sekitar. Sekian aja dulu ya.
Kebelet pipis nih aku. Hahahaha. :*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar